Kamis, 29 Maret 2012

Pendakian ke Gunung Salak


 



       Embun masih menetes dan kabut masih menyelimuti pagi. Dingin yang datang bersama angin menyusup ke dalam kamar seakan ingin memenuhi ruangan ini. Aku terbangun. "Brrr..dingin betul!" Kubuka jendela. Benar, kabut masih terlihat di halaman rumah mengaburkan pandangan mata dan embun menempati rumput dan dedaunan yang segar. Pagi di rumah nenek, Desa Tapos Udik, Bogor.
       Pagi hari  hanya udara segar yang melegakan dada dan menenangkan perasaanku. Sepertinya tidak ada tempat yang lebih menyenangkan selain di sini . Pemandangan indah Gunung Salak yang kokoh berdiri, hamparan sawah hijau yang tertata alami,dan aliran sungai Ciampea dengan bebatuan besar dan kecil yang berserakan. Di balik bebatuan itu menjadi tempat mandi ibu-ibu, anak-anak muda, gadis-gadis, maupun bocah-bocah sambil bergurau senang. Ditambah lagi suara-suara burung terdengar diantara pepohonan. Situasi seperti inilah yang membuatku selalu kangen ingin kembali lagi ke desa ini.
     
       Pagi itu, aku ajak Tia, sepupuku, berjalan-jalan santai menyelusuri pematang sawah dan jalan setapak yang sedikit menanjak  menuju desa tetangga.
"Udaranya segar, ya" ujarku sambil meregangkan tangan dan meloncat-loncat ringan. Lega rasanya. Tia tampak tersenyum. Tangannya juga mulai digerak-gerakkan.

       "Mau kemana lagi, Teh?" Tanya  Tia.

       "Ke puncak Gunung Salak itu, ya. Aku ingin sekali mendaki Gunung Salak," aku berhenti sejenak. Kupandangi lekuk dan warna hijau gunung itu dari jarak yang entah berapa kilometer jauhnya. Tapi selalu saja tampak dekat dari tempat berdiri.

        Aku selalu kagum melihat timbunan tanah yang menjulang tinggi itu. Gunung Salak merupakan gunung api . Semenjak tahun 1600-an tercatat terjadi beberapa kali letusan, di antaranya rangkaian letusan antara 1668-1699, 1780, 1902-1903, dan 1935. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1938, yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri. Di dalam perutnya terdapat lapisan tanah dan batu-batuan yang mengandung mineral serta magma panas yang suatu waktu siap dimuntahkan. Ketika Allah SWT berkehendak, maka gunung-gunung akan meletus dan isinya akan beterbangan bagai laron. SubhanAllah..rasanya bila sudah bisa berdiri di puncaknya, aku akan berteriak.."Heii...aku melihat kalian!" Senangnya!
 
      Aku memang bukan seorang pendaki gunung karena kecilku dulu tidak terlatih untuk melakukan kegiatan yang 'menantang' , jadi aku termasuk orang yang takut akan ketinggian.Tapi kekagumanku kepada gunung melebihi pendaki gunung -amatir- yang sering melakukan pendakian, hahaha.

          "Serius mau ke Gunung Salak, Teh?" tanya  Tia membuyarkan pandanganku.

        "Ayo,kapan ya? Aku siaplah...!" ujarku bersemangat. Aku berlari sedikit kencang dan meninggalkan Tia. Menuruni jalan setapak di daerah perbukitan sangat menyenangkan tapi juga harus berhati-hati. Aku sempat tergelincir karena kurang memperhatikan lekuk jalan yang ada dibibir jalan setapak itu. Semangatku sedikit menghapus rasa sakit di pergelangan kaki kanan.

        "Tia bilang ke Abah, ya  kalau Teteh mau mendaki gunung,"  ujar Tia setelah sampai di rumah nenek. Aku anggukkan kepala tanda setuju.

         Sore hari, nenek sudah menyediakan teh manis hangat. Kami duduk di beranda rumah.  Pandangan di depan mata adalah kebun bunga yang berwarna-warni. Nenek  memang senang menanam bunga. Dibantu oleh Mang Arya, nenek menghiasi halaman rumahnya dengan aneka bunga seperti  di beranda surgawi.

     "Parah mau mendaki gunung, ya?"  sapa Mang Arya sedikit mengagetkanku. Mang Arya seperti kebanyakan orang Sunda yang kurang fasih melafalkan huruf  F. Padahal namaku kan , Farah Maharani.
"Siapa bilang orang Sunda tidak bisa bilang F? PITNAH!", hahaha...

        "Iya, Mang. Bisa antar ke sana, ya?"
        "Baik. Nanti ajak juga beberapa saudara biar ramai, ya,"
        "Memangnya kalau bertiga saja kenapa?" tanyaku penasaran. Mang Arya cuma tersenyum. Diambilnya gelas berisi teh hangat lalu diminumnya.

      Mang Arya ternyata benar-benar serius mempersiapkan segala sesuatu untuk pendakian. Dibawakannya tambang plastik berukuran sedang, 2 buah pisau, 5 batang lilin  beserta korek api,  tikar, 3 pasang sarung tangan yang sudah terlihat lusuh, dan lentera untuk kemping. Semua diletakkan di teras rumah.

       "Jam berapa kita berangkat, Mang?" tanyaku.

       "Nanti jam satu malam, yah!"

       "Apa?"   Aku kaget, sudah tentu. Masa mendaki harus jam satu malam? Belum lagi hari masih gelap dan sudah terbayang udara dingin  sangat menusuk. Jam satu malam?  Tapi biarlah. Aku kan memang niat ingin mendaki Gunung Salak. Jadi...biarlah udara dingin  menyelimuti  di kegelapan malam. 

      Aku, paman, Arif, Hafidz, Nina, Ratih, Tia dan Dian ikut dalam rencana pendakian.Seperti anak-anak pramuka, kami berbaris dengan aba-aba dari Mang Arya. "Siaaap..maju..jalan!"  Dengan sikap berbaris yang santai...Saat itu bulan purnama. Cahaya terangnya membantu perjalanan, dingin menusuk tulang, suara-suara hewan yang hanya terdengar malam hari, rasanya memberi sensasi mistis pada perjalanan kami menuju pintu jalur pendakian. Biasanya Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian. Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I. Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II. Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus. Lalu...jalur yang kami lalui ini termasuk jalur mana? Soalnya desa ini bukan wilayah Curug Nangka atau Cimelati. Tapi dekat dengan Curug Luhur dan desa Tendjolaya. Mang Arya tersenyum ketika aku menanyakannya. " Ini jalur warisan.," ujar Mang Arya kalem.

     Lewat jalur warisan ini, kami melalui jalan setapak yang ditutupi dedaunan, ranting-ranting, dan buah-buah kecil berserakan. Semuanya terasa lembab, mungkin dikarenakan udara malam yang  berkabut dan berembun. Jalan setapak ini semakin lama semakin menanjak dan  harus dilalui hati-hati. Beberapa ranting yang berserakan terasa agak tajam dan di kiri dan kanan jalan penuh rimbunan pohon, ada juga genangan air. yang bisa membuat kaki terperosok. Kami harus saling berpegangan pada sebatang kayu yang dipegang beberapa orang. Pegangan tanganku pada kayu itu sempat terlepas karena kakiku terantuk batu dan  aku terhuyung hampir jatuh. Aku beristighfar karena kaget. Belum selesai rasa kagetku, Nina juga sedikit berteriak dan melonjak-lonjak. " Apa lagi?"  Dengan cepat Arif mengarahkan senter ke kaki Nina. Wah...ternyata pada kakinya menempel lintah kecil atau pacet. Binatang ini menghisap darah sehingga badannya yang kecil semakin lama akan membesar. Mang Arya dengan cepat melepaskan pacet itu dari kaki  Nina.Duh...sakitnya!

       " Hati-hati..di sini memang banyak pacet yang menempel pada ranting-ranting pohon atau juga di daun-daun yang lembab." ujar Arif, sepupuku.
Lintah dan pacet adalah hewan yang dapat hidup di daratan, air tawar, dan laut.Seperti cacing tanah, lintah juga hermaprodit (berkelamin ganda).Lintah dibedakan dari pacet bukan berdasarkan taksonomi, tetapi lebih pada habitat kesukaannya. Lintah sehari-hari hidup di air, sedangkan pacet sehari-harinya melekat pada daun atau batang pohon (di luar air). Hhiii...aku cepat-cepat menurunkan gulungan celana panjangku sampai di bawah mata kaki agar pacet tidak menempel pada kakiku. Ternyata semua yang ikut melakukan hal yang sama. Usaha preventif.

         Perjalanan melewati jalan setapak berakhir di tanah lapang tetapi masih di kelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Ketinggian tempat ini sudah puluhan meter lebih tinggi dari jalan semula. Pantas saja kakiku terasa pegal dan sempat kram. Semua yang ikut benar-benar merasa lelah. Berbekal tikar yang dibawa, kami duduk dan beristirahat dengan posisi saling mendekat. Mang Arya bilang, di tempat ini masih banyak macan siluman yang lewat. Jadilah kami tak berani berpencar saling menjauh., Suara tonggeret sebutan untuk segala jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring dari pepohonan dan berlangsung lama. Selain Tonggeret, orang Sunda menyebutnya cengreret, orang Jawa menyebutnya garengpung atau uir-uir, tergantung suara yang dikeluarkan, menambah suasana mencekam. Belum lagi angin pegunungan yang sangat dingin membuat sendi-sendi terasa linu dan bulu kuduk berdiri.Saat itu jam tanganku menunjukkan pukul 2.45 pagi. Aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur karena merasakan dingin dan suasana yang mencekam. Bayangkan saja, berada di kawasan hutan Gunung Salak yang berada di ketinggian dan ditutupi pepohonan rindang. Gelap, dingin, beraroma tanah lembab dan dedaunan. Suara-suara binatang malam dan entah suara-suara apa lagi yang terdengar dan membuat imajinasi mistis saat itu. Aku tetap merapatkan tubuh ke punggung Nina. Rasanya ingin beristirahat lebih lama lagi untuk menghilangkan lelah ini. Tapi Mang Arya mulai berdiri dan merapikan barang-barang bawaannya. "Waduh...jalan lagi ya, Mang?"  tanyaku dan Dian hampir bersamaan.

       "Masih jauh ya perjalanannya, Mang?"  tanya  Ratih dalam perjalanan kami selanjutnya. Masih melewati jalan setapak. Berharap ada jalan besar dan beraspal, hehehe. Kembali kami jalan berbaris dan bersikap hati-hati dengan banyaknya ranting, batu, dan juga pacet. Beberapa meter jalan telah dilalui, ternyata tercium bau  khas  belerang. Belerang atau sulfur  adalah sebuah zat padat kristalin kuning. Di alam, belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral- mineral sulfide dan sulfate. Belerang digunakan untuk bubuk mesiu, korek api, insektisida, dan fungisida. Bau menyengat belerang itu tercium di sebelah kanan . Kami penasaran ingin melihat apakah di jurang itu memang ada letupan belerang yang keluar. Tetapi Mang Arya melarang karena jurang itu sangat dalam dan untuk mendekatinya harus menyusuri semak-semak yang rimbun. Benar-benar penasaran jadinya. Terciumnya belerang sudah menandakan sudah dekatnya salah satu kawah yang ada di Gunung Salak. Dan itu tujuan akhir kami dalam pendakian ini.

       Mang Arya merencanakan perjalanan yang lebih cepat ke arah kawah itu. Ada dua jalan bercabang yang tampak sudah pernah dilalui pendaki. Setelah berhenti sejenak untuk mengingat-ingat jalan yang harus dilalui, Mang Arya memberi aba-aba untuk jalan melewati cabang sebelah kiri. Senang rasanya sudah mendekati tempat tujuan. Waktu menunjukkan pukul 03.40. Perjalanan terus berlanjut diselingi obrolan-obrolan kecil dan banyolan dari Arif dan Hafidz sehingga terasa tidak melelahkan.

        Beberapa meter berjalan melalui jalur ini, ternyata perjalanan harus dihentikan karena Arif merasa yakin jalur yang kami tempuh salah.

        "Waduh sudah capek nih...." ujar Dian, Ratih dan Nina hampir bersamaan.
        " Yakin jalurnya salah, Rif?" tanyaku.
        " Ya, soalnya dulu tidak ada pohon bambu seperti ini."
        " Itukan dulu, berarti sekarang sudah tumbuh, kali." sambung Dian.
        " Ya, pohon bambu memang cepat pertumbuhannya. Di dunia ini bambu merupakan salah satu tanaman
dengan pertumbuhan paling cepat. Karena memiliki sistem rhizoma-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60cm (24 inchi) bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam.pertumbuhan bambu begitu cepat berkembang di daerah-daerah yang dingin dan agak lembab"  ujarku menimpali kata-kata Dian.

       " Tapi..Aku yakin bukan ini jalannya. Ya kan, Mang?"  Arif meminta persetujuan Mang Arya yang sedang mengamati keadaan di tempat ini. Mang Arya mulai mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Paniklah semua. Bagaimana mungkin perjalanan yang ditempuh sudah sejauh ini harus salah jalur dan kembali ke jalan semula? Wajah-wajah lelah dan  kecewa memenuhi areal jalan berpohon bambu ini. Memang, lebatnya batang-batang bambu rasanya tidak memungkinkan dapat diterobos untuk membuat jalan. tak ada tanda-tanda penebangan sedikitpun apalagi jalan setapak yang bisa dilalui orang. Jadi...putar balik!

        " Lewat jalan mana lagi, Mang?"  
        " Kita pulang saja,ya. Lewat jalan yang lain."
        " Let's go...!"

       Perjalanan pulang terasa lebih cepat melalui jalur yang lain. Tetapi tetap saja di jalan-jalan setapak itu masih banyak pacet yang menempel di ranting-ranting. Sudah separuh perjalanan menuju pulang. Langit terlihat mendung dan udara dingin masih terasa. Pukul 4.10 pagi, cahaya bulan purnama tak lagi terang karena terhalang mendung dan kemudian turun rintik-rintik hujan. Waduh..., butiran air hujannya besar-besar sekali lebih besar dari  kelereng. Pletak-pletuk menimpa kepala dan badan terasa sakit juga. Ya, hal ini terjadi karena kami masih berada di ketinggian, jadi butiran air hujan itu masih besar karena belum banyak terurai angin. Kami berlari susul menyusul agar cepat sampai di bawah pohon  rindang untuk berteduh. Mang Arya sempat terpeleset. Celana panjang dan sebagian bajunya menjadi basah dan kotor. Kasihan sekali. SubhanAllah benar-benar pengalaman yang luar biasa.

         Berteduh di bawah pohon rindang seperti ini sebenarnya bukanlah tempat yang aman. Apalagi jika hujan deras disertai halilintar atau petir dengan munculnya kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan dan disusul suara menggelegar yang disebut guruh. Sifat petir yang selalu mengarah ke tempat yang lebih rendah, bisa menyerempet apa saja yang ada di bawahnya. Pohon rindang yang kami jadikan tempat berteduh ini juga bisa saja dicolek petir. Syukurlah sampai hujan mereda tak terjadi hal-hal yang berbahaya.

        Perjalanan dilanjutkan kembali. Sebenarnya Mang Arya dan Arif tidak terlalu hafal jalan menuju perkampungan penduduk. Mengandalkan 'feeling' kata Arif, kami menyusuri jalan menurun yang basah dan becek karena hujan. Tiba-tiba di persimpangan jalan terlihat seekor anjing yang sedang berdiri dan mengibas-ngibaskan ekornya. Aku sedikit takut juga. Dari manakah asal anjing itu sedangkan perkampungan penduduk belum terlihat. Ketika anjing bergerak ke arah kanan jalan, Mang Arya menyuruh kami mengikuti ke mana anjing itu berjalan.

          " Anjing ini pasti ada yang punya. Dia pasti akan pulang ke rumah tuannya." kata Mang Arya. Ya masuk akal juga. Jadilah kami mengikuti arah jalan anjing itu yang sesekali berhenti dan menoleh ke arah kami. Benar-benar pertolongan dari Allah. Akhirnya tanda-tanda mendekati pemukiman penduduk mulai terlihat. Pada beberapa tanah perbukitan sudah ada pohon-pohon hasil tanaman penduduk. Lega rasanya bisa melihat rumah-rumah penduduk kembali. Suara adzan subuh menggema dari sebuah mushola sederhana. Syahdu terasa sampai tetes air mataku tak kuasa kutahan. Haru dan bahagia menjadi satu. Bersyukur akhirnya aku bisa mendaki Gunung Salak itu meski tidak final. Terlebih bersyukur lagi karena masih bisa kembali pulang dengan selamat. Terbayang seandainya saat berada di ketinggian itu terjadi hal-hal yang mengerikan seperti bertemu macan siluman atau binatang buas lainnya. Apalagi ketika berada di jalur yang salah penuh pohon bambu dan tersesat. Mungkin beberapa hari kemudian sudah banyak anggota Tim SAR yang mencari kami dan mendapati delapan sosok mayat yang tergeletak di hutan bambu Gunung Salak. Aduuhh...mengerikan! Alhamdulillah ya Allah... Kau selamatkan kami dari marabahaya. Saat melaksanakan salat subuh berjamaah rasanya luar biasa. Kebersamaan kami selama pendakian sangat berarti. Kami larut dalam doa dan syukur yang panjang. Setelah itu bersama-sama pula kami beristirahat di mushola itu.

             Pengalaman mendaki ke Gunung Salak ini sungguh melekat dalam ingatanku. Tak akan pernah terlupa. Tetapi sayangnya dokumentasi berupa foto-foto selama di sana, tidak semuanya berhasil kusimpan. Sebagian rusak dan hilang entah ke mana. Benar-benar kenangan terindah.....